no klik kanan

Kamis, 20 Desember 2012

Budaya “Baku Cungkel” Dibawah Pohon Natal


Catatan Akhir Tahun

Oleh : Steven Tombokan
Tanggal 12 Desember tahun 2012, adalah momentum terjadinya perubahan di tanah Toar Lumimu’ut yang selama ini menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, saling hormat-menghormati dan yang paling terkenal di daerah ini adalah kerukunan masyarakat yang sangat kental.
Tanggal yang disebut-sebut sebagai tanggal “Cantik”  untuk sekadar menjual kecap, umbar janji, dan dapat dikatakan sebagai “Hari Topeng”. Mengapa demikian? Sebenarnya, saat-saat tersebut adalah momentum untuk mendekatkan diri dengan Sang Juru Selamat umat manusia, karena saat-saat terdengarnya kidung pijian Natal dan juga Umat Kristiani tengah sibuk-sibuknya mengadakan ibadah Pra Natal. Namun, kondisi tersebut sungguh berbeda dan telah diubah menjadi momentum untuk saling menjatuhkan antar sesama, saling “injak” dan lebih ironi, saling berlomba untuk “meninggikan diri” dibawah penderitaan orang lain.
Ternyata ungkapan “SITOU TIMOU TUMOU TOU” (manusia hidup untuk menghidupkan orang lain) yang dipopulerkan oleh opa Sam Ratulangi, bak dibalik dan disulap menjadi “SITOU TIMOU TUMONGKO’ TOU” (manusia hidup untuk memakan orang lain). Ungkapan ini terbukti terjadi di tanah Minahasa sehubungan dengan pelaksanaan Pemilukada di Tahun 2012 ini.
Masing – masing calon “penguasa” berlomba-lomba menarik simpati masyarakat yang tega menghalalkan segala cara. Sadar atau tidak, dengan sendirinya mereka telah  mengajarkan Tou Minahasa untuk memperkenalkan budaya baru yaitu “saling baku cungkel”. Buktinya, bukan sedikit masyarakat minahasa semenjak digaungkannya pemilihan calon “penguasa” menjadi masyarakat yang arogan, yang sudah tidak lagi memandang saudara, teman, tetangga bahkan saudara seiman.
Di sebuah group jejaring sosial yang “berjudul” CALON BUPATI MINAHASA 2012, kita dapat melihat bagaimana dengan entengya sebagian anggota group mempublikasikan isu-isu yang bisa dikatakan “anarkis”. Bahkan ada beberapa anggota didalam group tersebut dengan entengnya menuduh  bahwa seorang Calon Bupati Minahasa rela “menjual” istrinya demi untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Apakah perlakuan Tou Minahasa sudah sekeji ini ? mencaci, menginjak, dan memfitnah dengan bangganya.
Selain dari jejaring sosial, malah ada yang memang terang-terangan untuk “Mensucikan” cara yang kotor sekalipun. “pokoknya, patah kalu patah” inilah secuil ungkapan dari salah seorang yang katanya menjadi panutan di tanah MINAESA didepan khalayak ramai pada detik-detik terakhir penentuan Sang “Penguasa”.
Sebenarnya momentum Pilkada Minahasa yang bertepatan dengan masa Adven bagi umat Kristiani, adalah waktu yang tepat untuk berbagi kedamaian, berbagi kasih dengan sesama dan lebih mempererat tali persaudaraan, bukannya saling menjatuhkan dan berlomba untuk menyatakan diri sebagai yang terbaik dan yang paling benar diantara yang lain.
 Mari sejenak kita sebagai umat Kristiani untuk mencermati dan merenungkan apa yang tertulis di Alkitab pada Roma 12 : 16 “”Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!”   
Akhirnya, hendaklah pemimpin yang sudah terpilih dari sekian banyaknya putra terbaik yang ada di Minahasa akan membawa “Perubahan” dan bisa mengembalikan citra tanah Adat Minahasa dengan menghapus segala perbedaan yang ada, menyatukan lagi yang telah tercerai-berai dan mempererat tali kekerabatan yang belum lama ini telah dolonggarkan oleh hawa “politik” yang selama ini telah menghilangkan “sementara” kasih dan sukacita.
Selamat berjuang bagi sang “penguasa” … Selamat Natal Saudaraku…. Berubalah oleh Pembaharuan Budimu.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar