Catatan akhir tahunOleh : Steven Tombokan Siang itu, 13 September 2012, sebagian masyarakat Kelurahan Kakaskasen 1 Kecamatan Tomohon Utara, dipimpin langsung oleh Lurah Emma Polii beserta aparat keamanan. Kapolsek Tomohon Utara AKP Roy Tangkuman dan Dan Ramil Tomohon Kapten Ahmad Nurdin berbondong-bondong menuju lokasi Pinawelaan dan Kameya yang menurut mereka telah meresahkan warga. Bak pelaksanaan eksekusi lahan, sang penguasa kelurahan-pun hengeluarkan satu kata dengan lantang Bongkar ! .
Sebagian warga yang mengetahui nilai sejarah di tempat tersebut tercengang, dan memilih untuk duduk menjadi penonton. Namun, sebagian warga yang tidak mengenal adat ataupun hanya berpura-pura tidak tahu adat langsung turun menjadi eksekutor dadakan. Tak selang 1 jam, tempat ritual adat itu pun lulu lantah rata dengan tanah. Tak sedikit kata-kata penyesalan yang keluar dari mulut warga yang tidak turut ambil bagian dalam tim perompak tempat budaya tersebut.
“sejak dulu kami tau tempat ini adalah tempat untuk menyembuhkan penyakit maupun tempat untuk “memandikan” serdadu yang akan turun ke medan perang. Sayang, tempat yang kami tahu dikeramatkan sejak dulu, akhirnya diporak-porandakan oleh oknum “penguasa” yang mengaku pembela kota budaya, menjunjung tinggi adat-istiadat, namun ternyata yang bersangkutan tidak tahu adat” sesal om Anton pemilik sah lahan tersebut.
“Tempat itu sejak dulu memang sakral, dan dipercaya oleh leluhur serta dijadikan masyarakat sebagai tempat untuk mengobati orang sakit, airnya dipercaya bisa menyembuhkan penyakit,” katanya.
Kendati salah seorang warga, Eduard Mamuaja mengklaim bahwa tanah itu miliknya, Anthon sulu langsung membawa bukti sertifikat tanah tersebut pada pemerintah kelurahan dan, sekali lagi sang penguasa bak kebakaran jenggot karena “gagal” mencari kambing hitam untuk mengkaver bahwa tempat itu adalah sah milik Anthon Sulu.
Sejenak kita tengok jauh kebelakang mengenai tempat yang diklaim masyarakat sekitar sebagai lokasi adat tersebut.
‘Pinawelaan’ juga berasal dari bahasa Tombulu, ‘wela’ berarti ‘belah’, ‘welana’ berarti ‘jiwa-jiwa yang penasaran akibat peperangan’. Pinawelaan menjadi tempat diakhirinya semua amarah, kebencian, dendam dan jiwa yang penasaran serta panasnya ‘pengetahuan’ (pegangan ilmu) dalam peperangan terutama dalam Perang Minahasa-Bolaang Mongondow. Di tempat ini ritual sumampet mawuri diadakan untuk mengakhiri perang dalam mengakhiri amarah, jiwa penasaran dan lain-lain. ‘Sumampet’ sendiri berarti ‘akhiri’, dan ‘mawuri’ berasal dari kata ‘ma’uri’ atau ritus perang (Ritual Mauri).
Legenda Minahasa menuturkan bahwa timbulnya perang Minahasa–Bolaang Mongondow berawal dari kisah Pingkan-Matindas. Pingkan Mogonunoy adalah seorang puteri dari Walak Tombariri (dari Tombulu) yang tinggal di Mandolang dekat Tanawangko. Ia kawin dengan Makaware’ Matindas asal Tonsea. Pingkan adalah cicit dari Opo Rumengan (keturunan ke-4), dari garis Matinempung dan Walansendow (anak Lumalundung dan Mamanua, kisah pancuran telaga Tumatenden) serta Pingkan dan suaminya Tou Ni Singal. Istri Opo Lumi (Kepala Walak/Hukum Majoor Tomohon antara tahun 1623-1670) bernama Wue’ adalah keturunan ke-5 dari Pingkan dan Matindas. Opo Lumi adalah Kepala Walak Tomohon yag disakiti serdadu Spanyol sehingga membangkitkan amarah orang Tombulu, hingga berujung pada Perang Minahasa-Spanyol antara tahun 1643/1644. Kepala Walak/Hukum Majoor Tomohon antara tahun 1680-1725 yaitu Opo Paat, yang mengundang Belanda datang ke Minahasa tahun 1654 adalah keturunan ke-6 dari Pingkan dan Matindas.
Raja Mokoagow, yang menjadi punu’ (=raja) Bolaang Mongondow antara tahun 1600-1620, berusaha meminang Pingkan namun ditolak. Pingkan melarikan diri ke Maadon di dekat Kema, namun Mokoagow mengejar mereka. Sebagai jalan terakhir, Pingkan memperdaya Mokoagow sehingga ia dibunuh oleh pasukannya sendiri yang tidak mengira bahwa yang mereka bunuh adalah raja mereka sendiri.
Kematian raja Mokoagow akhirnya diketahui oleh rakyat dan keluarganya di Mongondow. Maka timbullah peperangan besar antara orang Minahasa dengan rakyat Bolaang-Mongondow. Dalam peperangan pertama di Maadon Kema, Pingkan dan Matindas gugur dalam mempertahankan kehormatan bangsa Minahasa. Pada mulanya pasukan Mongondow hanya memerangi orang Tonsea, namun karena pasukan Mongondow ini merampok dan merampas harta di seluruh tanah Minahasa, maka bersatulah Tonsea, Tombulu, Toulour dan Tontemboan dan menyapu bersih seluruh pasukan Bolaang-Mongondow dari tanah Malesung.
Sejumlah tonaas yang memimpin peperangan melawan Bolaang-Mongondow adalah Worung, Wahani dan Mandagi dari Tombulu; Kalesaran dari Tondano, Lengkong Wuaya dari Tonsea, Pelealu dan Nangka dari Tontemboan.
Kematian raja Mokoagow ini ditanggung oleh orang Tonsea, Tombulu dan Toulour karena Pingkan dan Matindas adalah keturunan dan pemimpin dari ketiga daerah tersebut. Itulah sebabnya mengapa Foso Mahapansah (pansa=tempat membuat api dari kayu yang berbentuk segi empat yang diisi tanah, atau juga disebut dodika) yang diadakan tiap tahun, terakhir kali dilaksanakan pada tahun 1870-an, hanya dilakukan oleh ketiga suku tersebut, sedangkan Tontemboan hanya datang sebagai tamu pelengkap.
Untuk daerah Tombulu, Foso Mahapansa diadakan tiap tahun di daerah Pinahwelaan Kakaskasen. Foso Mahapansa orang Tonsea dilakukan di daerah Kinasempo’an antara desa Laikit dan Mapanget sekarang, dan orang Tondano melakukannya di bukit Langkiman yang terletak di antara Kapataran dan Belang, dengan pusat Foso Mahapansa berlokasi di Ma’adon dekat Kema. Upacara posan ini dilakukan dengan inti foso mangelur, yaitu membujuk roh leluhur atau roh Raja Mokoagow dari Mongondow agar tidak mengganggu kehidupan orang Malesung Minahasa.
Pinawelaan menjadi tempat diakhirinya semua amarah, kebencian, dendam dan jiwa yang penasaran serta panasnya pengetahuan (pegangan ilmu) dalam peperangan terutama dalam Perang Minahasa-Bolaang Mongondow. Di tempat ini ritual sumampet mawuri diadakan untuk mengakhiri perang dalam mengakhiri amarah, jiwa penasaran dan lain-lain. Sumampet sendiri berarti akhiri, mawuri berasal dari kata ma’uri atau ritus perang (Ritual Mauri). Pusat orang Tombulu melakukan ritual foso untuk mengakhiri perang selalu dilakukan di Pinawelaan, sebelah barat Kakaskasen.
Kaimeya berasal dari bahasa Tombulu, ‘kai’ berarti ‘orang, kita semua, benih’, serta ‘meye’ yang berarti ‘yang didatangi’. ‘Kaimeye’ berarti ‘yang didatangi orang’, sehingga tempat ini berarti tempat bertemu dua kelompok (torang tu da bakumpul di tampa ini). Tempat ini menjadi tempat pertemuan dan perdamaian dari kedua tumpukan Pinontoan Lokon dan Rumengan dari Mahawu, yang datang untuk berjanji hidup bersama serta menjadi tempat sipat/batas berburu.
Legenda orang Tombulu menyebut bahwa Rumengan dan adiknya Pinontoan yang disebut Pinontoan Lokon atau Opo Lokon Tu’a adalah anak dari Muntu-untu dan Rumintu’unan serta cucu-cucu dari Toar-Lumimuut. Kedua kakak beradik ini tinggal di sekitar mata air kaki gunung Lokon bersama kedua orang tua dan adik mereka bernama Manarongsong. Setelah dewasa Rumengan mengambil Kati sebagai istrinya yang kemudian berubah nama menjadi Katiwiey dan berpindah di sekitar gunung Rumengan dan Mahawu serta menjadi penguasa tanah di daerah itu. Kati adalah anak dari Soputan dan Pariwuan yang pada akhir hidupnya tinggal di sekitar gunung Soputan. Anak Rumengan dan Katiwiey ialah Linouw, Matinempung dan lain-lain.
Adik Rumengan bernama Pinontoan Lokon jatuh cinta dengan istrinya, Kati, sehingga membawa larinya, yang kemudian diubah namanya menjadi Katiambilingan. Anak Pinontoan dan Katiambilingan ialah dua anak laki-laki bernama Ahkaimbanua dan Singal Pinontoan. Pinontoan tetap tinggal di dekat orang tuanya, di kaki gunung Lokon dan menjadi penguasa tanah di situ.
Akibat Pinontoan yang mengambil istri Rumengan maka berperang kedua bersaudara itu di daerah ‘Pinahwela’an’ (=tempat bergelut) kaki gunung Lokon. Pinontoan mengerahkan kekuatannya dengan memuntahkan abu dari gunung Lokon untuk menyerang Rumengan, namun ditahan oleh Rumengan dengan mengerahkan abu dari gunung Mahawu.
Akhirnya kedua bersaudara itu dipertemukan dan berdamai di sebuah mata air yang dinamakan kemudian sebagai Kaimeye, menjadi tempat pertemuan dan perdamaian dari kedua tumpukan Pinontoan Lokon dan Rumengan, di mana mereka datang untuk berjanji hidup bersama sekaligus menjadi tempat sipat/batas berburu.
Legenda juga menyebut bahwa di Watu Kaimeye ini tempat ikrar sumpah tersebut termasuk bila sewaktu-waktu Lokon maupun Mahawu meletus, maka sumber muntahan material hanya sampai di batas sipat yang sudah disepakati bersama ini. Sampai sekarang terdapat dua bukti yakni batas dari Pinontoan dengan adanya dinding bebatuan yang berjejer memanjang sebagai batas di sebelah barat Kameya dan di sebelah timur merupakan batas sipat terdiri hanya dari dinding tanah saja, karena Lokon mengeluarkan material bebatuan dan Mahawu hanya lumpur dan debu.
Keturunan Pinontoan Lokon dari anaknya Ahkaimbanua, yaitu tonaas Pukul menjadi pemimpin dan walian di pemukiman para turunan Pinontoan bernama pemukiman Maiesu Kinilow. Letaknya berada di antara mata air Kaimeya dan Pinawelaan. Anak Pukul dan istrinya Suanen ialah Rareseempung dan cucunya bernama Lumongdong menjadi penerus kepala pemerintahan di daerah Kinilow Tu’a tersebut. Keturunan dari Lumongdong bernama Mokoagow menjadi pendiri kampung Muung yang berkembang pesat menjadi pemukiman utama Tou Muung, yang sekarang dikenal dengan nama Tomohon.
Keturunan generasi ke-5 dan generasi ke-11 dari Opo Pinontoan Lokon bernama Opo Riri Mokoagow dan Opo Sahiri Supit. Mokoagow menjadi pendiri Tou Muung serta menjadi Kepala Walak Tomohon yang pertama. Opo Sahiri Supit menjadi Kepala Walak/Hukum Majoor Tomohon antara tahun 1679-1738, sekaligus menjadi trio yang menandatangani Kontrak Persahabatan Minahasa-Belanda tahun 1679 dan 1699, sekaligus mengundang Kompeni Belanda bercokol di Minahasa.
Keturunan Opo Pinontoan Lokon dan istrinya Katiambilingan yang terkenal adalah Opo Sahiri Supit (keturunan generasi ke-11, asal usul fam Supit, waruganya di depan gereja GMIM Eben Haezer Woloan), Kepala Walak/Hukum Majoor Ares Tololiu Supit (keturunan ke-12, Kepala Walak Ares Manado sekitar tahun 1710), Hendrik Jacob Werias Supit (keturunan ke-16, Majoor Walak Tondano antara 1848-1862, menangkap Kyai Modjo dan Pangeran Diponegoro), Majoor A.L. Waworuntu (keturunan ke-16, Majoor Sonder 1887-1890, anggota Volksraad), Ibu A.M. Tine Waworuntu (keturunan ke-17, Walikota Manado tahun 1950-1951, merupakan walikota wanita pertama di Indonesia), Rondonuwu dengan nama baptis Roland Ngantung (keturunan ke-17, Kepala Walak/Majoor Tomohon antara tahun 1853-1860, waruga ayahnya terletak di depan pertigaan Matani Tomohon), Ir. Fred J. Inkiriwang (keturunan ke-19, Menteri Perindustrian RI dalam Kabinet Karya/Djuanda tahun 1957-1959), Ds. A.Z.R. Wenas (keturunan ke-19, mantan Ketua Sinode GMIM), Kolonel Alex E. Kawilarang (keturunan ke-20, Panglima Kodam Siliwangi dan Panglima Besar Permesta), dan Dr. S.H. Sarundajang (keturunan ke-21, Gubernur Sulawesi Utara).
Hanya sebatas JanjiPenanganan pemeritah dalam kasus inipun terkesan hanya sebatas janji-janji semata. Padahal Hari Sabtu, 15 September 2012, pengurus Aliansi Masyakarat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara dan Komunitas Adat Sarongsong melakukan rapat dengan sejumlah praktisi budaya Minahasa seperti para tonaas, anggota komunitas adat, budayawan Minahasa, sejarawan Minahasa, wartawan dan pengacara di kelurahan Kakaskasen I. Rapat koordinasi ini berlangsung dari sore hingga malam, membahas kronologi kejadian serta masalah hukum akibat perusakan situs Kaimeya serta Pinawelaan, serta dengan koordinasi antar para tonaas untuk melakukan gugatan sekaligus penggalangan persatuan di antara para tonaas.
Salah satu yang dibahas adalah sebuah ironi penegak hukum: sistem “Mapalus Kamtibmas” yang diselenggarakan aparat Kepolisian Sulut dan aparat pemerintah ternyata tidak lain untuk menghancurkan situs-situs budaya di Minahasa. Sebuah ironi, bahwa mereka menggali budaya Minahasa untuk menghancurkan budaya Minahasa itu sendiri.
Menurut budayawan Fredy S. Wowor, adanya perusakan situs Pinawelaan dan Kaimeya menyiratkan bahwa ada usaha sistematis untuk merusak ingatan masyarakat Minahasa akan jati diri atau identitas hakikinya, untuk mendegenerasi eksistensi t masyarakat Minahasa. Degenerasi ini adalah strategi sistematis untuk melenyapkan keberadaan budaya Tou Minahasa. Strategi ini mengambil bentuk penghancuran hubungan persaudaraan dari tou Minahasa dan tanahnya. masyarakat Minahasa akan kehilangan sumber daya hidupnya.
Selain itu, para tua-tua tanah minahasa pun geram dengan pembongkaran tersebut. Saat melakukan ritual, dotu Pinontoan (penguasa Gunung Lokon) berjanji akan terjadi letusan gunung lokon.
Aneh tapi nyata, namun Itulah yang terjadi. Tepat 3 hari usai pembongkaran, terjadi letusan dasyat gunung Lokon pada pukul 18.53, berupa letusan bom vulkanik dengan tipe letusan strombolian, dengan lava pijar setinggi 600 meter dari bibir kawah. Letusan ini terdengar keras bahkan hingga di utara Manado, membuat warga Tomohon panik dan berhamburan keluar rumah, karena terdengar bunyi dentuman yang sangat keras dan getaran kuat hingga menggentarkan rumah. Selanjutnya ada dua letusan susulan berskala kecil. Tinggi abu yang dilontarkan sekitar 1.500 meter mengarah ke utara di Manado dan abu tersebut menimpa kelurahan Kinilow. Sebelum terjadi letusan sudah ada gempa-gempa sejak jam 8.30 pagi. Dan kejadian tersebut terjadi lagi setelah 6 hari dan 9 hari pasca pembongkaran lokasi adat.
Kejadian letusan ini dihubung-hubungkan dengan peristiwa perusakan situs di kaki Lokon yang baru lalu. Sejumlah warga menyebut bahwa “Opo Lokon marah karena lokasi sakralnya dirusakkan warga setempat”.
Keluhan masyarakat adat Minahasa terkait pembongkaran ‘situs’ budaya di mata air Kameya dan Pinawelaan, Kelurahan Kakaskasen I, Kecamatan Tomohon Utara tak hanya diseriusi DPRD Kota Tomohon, yang akan memanggil oknum Lurah untuk mengklarifikasi persoalan tersebut, tapi juga oleh Pemerintah Kota Tomohon.
Pemanggilan terhadap Lurah Kakaskasen I, menurut Sekretaris Kota Tomohon Arnold Poli dilakukan untuk mengevaluasi dan mengklarifikasi secara jelas duduk persoalan yang terjadi pada Kamis (13/9) lalu, sehingga tidak berlarut-larut dan meresahkan warga. “Sebagai Ketua Baperjakat, saya akan memanggil dia (Lurah Kakaskasen I), untuk mengklarifikasi persoalan di mata air Kameya dan Pinawelaan,” katanya, Selasa (25/9/2012).
Poli mengatakan klarifikasi dan evaluasi olehnya akan dilakukan secara komprehensif, agar duduk persoalan di Kameya dan Pinawelaan menjadi jelas dan tuntas, sehingga tidak menimbulkan keresahan ditengah masyarakat. “Kinerjanya sebagai aparatur pemerintah di Kelurahan akan dievaluasi juga, baik terkait disiplin maupun loyalitasnya sebagai abdi masyarakat dan Negara. Jika, didapati tak sesuai dengan aturan, maka Pemerintah Kota tak segan-segan mengambil langkah tegas, termasuk kemungkinan mencopotnya dari jabatan sebagai Lurah,” tegasnya. Namun, lagi-lagi masalah tersebut belum mendapat titik terang, dan terkesan hanya sebatas janji-janji untuk menyelesaikan persoalan.
Senin, 24 September 2012, sekitar pukul 11.00 WITA ratusan massa yang mengatas-namakan Masyarakat Adat Tombulu melakukan aksi damai di DPRD Kota Tomohon.
Kedatangan rombongan masyarakat adat Tombulu tersebut ikut didampingi Penasehat Hukum (PH), Sofyan Jimmy Yosadi SH. Mereka diterima oleh Ketua Dewan Andy R Sengkey yang didampingi Honfny S Kalalo SH, Drs Paulus Sembel, Melkisedek Tangkawarouw SE, Jeffrie S Montolalu SE dan Drs Johanis Wilar.
Tuntutan dari para Masyarakat agar mengusut tuntas kejadian pembongkaran Situs Sejarah Watu Kameya dan Watu Pinawelaan yang berada di Bawah Kaki Gunung Lokon. Yang dipercaya sebagai tempat pertemuan para Dotu-dotu di masa lampau.
Masa juga, mendesak agar Lurah Kakasksen Satu yang memimpin pengrusakan dicopot. Kemudian, Kapolsek Tomohon Utara dan Da Ramil Tomohon, harus diminta keterangannya soal kehadiran mereka di lokasi saat kejadian Berlangsung. Namun, usaha dari masyarakat adat inipun menemui jalan buntu.
Yang menjadi pertanyaan kita saat ini, bagaimana pemerintah dalam menyikapi polemic yang terjadi sampai saat ini. Seharusnya dari pihak pemerintah melalui dinas terkait untuk “menjemput bola” dan membentuk sebuah tim yang mendata tempat-tempat yang menjadi lokasi budaya masyarakat sejak dahulu kala, karena masih banyak kekayaan adat budaya yang belum terjamah oleh pemerintah.
Masyararakat adat Kota Bunga sampai di penghujung tahun penuh berkat ini masih menunggu tindakan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang dinilai sudah berlarut-larut. Semoga.
(*/dari berbagai sumber)